
Sebelumnya, diajukan daftar berisi enam kata oleh para ahli bahasa lembaga yang dikelola oleh Oxford University itu. Keenamnya dipilih untuk merepresentasikan suasana hati maupun percakapan yang dialami masyarakat sepanjang tahun. Dan di waktu yang ditentukan, kata yang mengerucut sebagai pilihan, dibahas menjadi keputusan Word of The Year 2024.
Brain rot sesuai paduan katanya, dapat dipahami secara sederhana sebagai keadaan otak yang mengalami ‘pembusukan’. Setidaknya mengalami penurunan fungsi. Prosesnya dikaitkan dengan paparan intensif material-material media digital pada organ pengelola informasi itu.
Hanya saja dalam catatannya, pembusukan terjadi oleh material media digital yang isinya tak selalu penting. Hari ini kian nyata: material media digital seringkali tak substansial, namun dibahas berlebihan.
Terkait itu Oxford University Press menguraikan, pembusukan otak dicirikan adanya kemerosotan kondisi mental maupun intelektual akibat konsumsi material media digital yang remeh tak menantang, namun berlebihan. Gejala yang jelas terlihat, merosotnya kualitas kognisi pemakainya.
Brain rot adalah produk dari interaksi intensif, dengan media digital. Namun apakah seluruhnya ini, kemudian menempatkannya sebagai gejala medis yang terkonfirmasi? Yang pasti, kemerosotan kognisi tak bisa diabaikan.
Brain rot sebagai realitas, adalah paradoks yang memprihatinkan. Karenanya hadiah istimewa Oxford itu, tak patut dirayakan. Lewat “Brain Rot: The Impact on Young Adult Mental Health”, Newport Institute, 2024, menguraikan lebih dalam gejala ini.
Pembahasannya di awal tahun 2024 ~sebelum keputusan tentang kata pilihan tahunan~ yang menunjukkan keprihatinan lembaga ini. Uraiannya didahului adanya keadaan tak nyaman yang sering menjangkiti seseorang.
Munculnya perasaan tak bersemangat ~setelah lama terjaga, begadang dan kurang tidur~ diikuti pikiran yang sulit diarahkan pada subyek tertentu. Ini kemudian menyebabkan penurunan produktivitas, munculnya rasa gelisah, cemas, negatif, bahkan depresi. Perasaan yang juga muncul, seiring konsumsi alkohol atau penggunaan narkoba. Material yang menyebabkan tubuh jadi lesu dan perasaan bingung.
Namun seluruh keadaan yang tergambar itu, hari ini bisa muncul bukan dipicu konsumsi alkohol, narkoba, atau terjaga terus-menerus. Perasaan tak nyaman yang bahkan terjadi saat tubuh cukup istirahat, juga tak mengonsumsi apapun.
Seluruhnya tampil sebagai gejala, setelah berjam-jam beraktivitas di depan perangkat seluler maupun layar komputer. Aktivitas ini memaksa otak terus-menerus terjaga, bahkan memicu kerusakannya. Kerusakan akibat kelebihan informasi digital.
Gangguan otak oleh berlebihannya informasi, adalah proses brain rot. Dampaknya bisa meluas, mengancam kesehatan mental. Hari ini ketika pengguna media digital adalah kelompok usia muda ~gen milenial, gen X dan gen alpha~ dapat dipahami, kelompok muda inilah yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Newport Institute yang sebagian aktivitasnya menangani gangguan kesehatan mental kelompok usia muda menandaskan: brain rot adalah pikiran kabur yang disertai penurunan kognisi. Seluruhnya dipicu oleh penggunaan perangkat berperangkat layar yang berlebihan.
Praktik menonton video YouTube, menggulir media sosial, atau beralih antar tab browser, secara simultan, jadi penyebab kuat terjadinya brain rot. Pembusukan makin terakselerasi, manakala menjelajah internet, mengirim pesan teks, dan memeriksa email, dilakukan di waktu yang hampir bersamaan.
Juga telah jadi kebiasaan jangka panjang. Terlalu dirangsangnya otak oleh informasi digital, menyebabkan kerusakan otak. Newport Institute tak ragu, brain rot adalah hasil dari penggunaan media digital yang berlebihan.
Bersamaan gejalanya yang kian nyata ada keraguan otoritas yang bertanggungjawab, memasukan brain rot sebagai persoalan medis. Ini mungkin disebabkan peristiwanya yang baru menggejala. Namun ketika gejalanya sudah berjangkit intersubyektif dan peristiwanya mengglobal, realitasnya tak bisa ditolak lagi.
Senada dengan itu, Chris Mosunic, 2024, dalam “Discover What Brain Rot is, Including Common Causes and Its effects on the Mind. Plus, How to Combat and Reverse this Mental Decline Using 10 Mindful Techniques”, menyepakati brain rot sebagai hasil buruk media digital.
Indikasinya berupa kemerosotan kognitif maupun emosional, akibat penggunaan internet dan media sosial yang berlebihan. Karenanya harus ditangani secara sistematis. TikTok disebut Mosunic secara eksplisit, sebagai platform yang menyebabkan degenerasi secara menonjol.
Lebih lanjut ia menguraikan akibat buruk lanjutan yang bakal menimpa pengidap sindrom kontemporer ini. Disebutkannya, menggulir media sosial tanpa berpikir, doomscrolling dan menonton video streaming tanpa henti, dapat memengaruhi cara berpikir maupun berbicara.
Penggunanya kehilangan otentisitas. Indikasinya sangat jelas, berupa kelelahan mental, oleh kelebihan informasi. Walaupun maksud awal seluruh kegiatan bermedia digital untuk bersenang-senang, namun kebiasaan jangka panjangnya mendorong menyempitnya rentang perhatian.
Juga terjadinya penurunan keterampilan berpikir kritis. Mengutip hasil penelitian Emily Pluhar, Jill R. Kavanaugh, Jordan A. Levinson, dan Michael Rich, 2019, dalam “Problematic Interactive Media Use in Teens: Comorbidities, Assessment, and Treatment”, Mosunic menyebut, tak kurang dari 9.4% remaja di Amerika diduga terlibat dalam Problematic Interactive Media Use (PIMU). Ini adalah kondisi baru, yang sangat terkait dengan kerusakan otak. Masih ditolak sebagai masalah medis?
Keadaan lain terkait fungsi otak yang sebangun dengan brain rot, adalah ‘popcorn brain’. Laurel Ives, 2024, dalam “The ‘Popcorn Brain’ Symptoms that Could Signal ADHD”, membuka tulisannya tentang adanya gejala yang menjangkiti kerja pikiran seseorang.
Saat berada di satu subyek tertentu, pikiran belompat-lompatan, meletup dari satu subyek ke subyek lain, secara cepat. Tepat seperti popcorn ~jagung letup~ yang dipanaskan di dalam microwave ~perangkat pemanas bergelombang pendek~. Keadaan yang serupa letupan beruntun jagung di microwave, karenanya otak yang mengalami disebut ‘otak jagung letup’.
Gejala popcorn brain dengan tanpa melibatkan kehadiran media digital, sangat identik dengan yang dialami penderita ADHD, Attention Deficit Hyperactivity Disorder. ADHD merupakan satu bentuk gangguan mental, yang terlihat sebagai rendahnya kemampuan memberikan perhatian, hiperaktivitas ~dilakukannya gerakan secara berlebihan, tak proporsional dengan keperluannya~. Juga adanya kecendrungan impulsivitas, berupa tindakan yang dilakukan tanpa landasan pikiran yang seksama.
Popcorn brain yang dikemukakan Ives, istilahnya mengacu pada uraian David M. Levy ~seorang ahli syaraf~ saat mempresentasikan temuan penelitiannya, di tahun 2011. Levy yang kemudian membukukan hasil penelitiannya sebagai “Mindful Tech”, di tahun 2016, menyebut popcorn brain adalah kondisi mental yang ditandai oleh pikiran yang alih-alih sepenuhnya terarah pada satu subyek.
Perhatian justru terbagi-bagi pada berbagai subyek, dengan peralihan yang cepat dari satu topik ke topik lain. Sama seperti jagung letup dalam microwave. Ditandaskan Levy selanjutnya, kemampuan manusia untuk berkonsentrasi pada sebuah subyek secara mendalam hari ini, mengalami tantangan serius oleh kehadiran teknologi baru.
Mark Travers, 2024, yang mengajukan pendapatnya dalam pandangan ilmu psikologi lewat “A Psychologist Explains the Rise Of ‘Popcorn Brain'”, menyebut: platform media digital dengan dilengkapi perangkat notifikasi real time, mendorong hasrat penggunanya terus menggulir.
Juga iklan beserta algoritmanya, yang dipersonalisasi berdasar informasi demografis penggunanya, membuat perhatian pengguna tertancap erat pada layar. Ini mendorong penggunaan kompulsif.
Tak beda dari pecandu narkoba yang keinginannya terus dirangsang, pengguna media digital juga didorong keasyikannya terus-menerus. Seluruhnya jadi imbalan seketika, yang disediakan media digital. Topik yang berlompat-lompatan silih berganti menyebabkan FOMO, mendorong otak terus mengikutinya. Tak beda dari popcorn di microwave, yang terus meletup.
Mengakhiri tahun 2024, sesungguhnya masih banyak gejala perubahan otak oleh interaksi bermedia digital lainnya. Otak yang diistilahkan ‘membusuk’ maupun ‘meletup’ tentu bukan spesifikasi yang diharapkkan bagi penyusunan solusi peradaban yang makin menantang.
Terlebih jika keduanya jadi gejala satu individu: otak membusuk yang meletup-letup. Haruskah diterima tanpa adanya perlawanan? Seberapa jauh sesungguhnya, perubahan teknologi berhak mengubah manusia seraya menjadikannya sebagai korban?
beatsbysarz.com